Minggu, 27 April 2014

Acha dan Televisi


“Sudah lama?” Wanita itu akhirnya sampai di dekatku. Aku mengangguk.

“Sudah sejam! Tadi saya lupa bawa bekal Pia. Makanya cepat-cepat datang. Mau pulang udah malas. Sekalian mau lihat si Pia menari,” jawabku sambil menunjuk ke arah ruang ekskul untuk menari, tak jauh dari ruang tunggu para penjemput itu. Ruangan itu berbentuk aula, tanpa dinding dan cukup lapang.

Bunda Acha tersenyum. Wanita cantik yang hampir memasuki usia tigapuluh tahun itu ikut melihat ke arah tatapanku. Ruang ekskul yang sedang kami perhatikan, terdengar gaduh oleh suara teriakan anak-anak yang berbicara ditingkahi oleh suara musik yang cukup kencang.

Tapi, senyum riangku sedikit menghilang saat melirik Bunda Acha. Wajahnya justru terlihat murung melihat keramaian kecil di ruangan itu. Tatapannya lurus melihat ke satu sudut ruangan.

“Aduh, si Acha mah… kok malah berdiri menyendiri begitu sih?” Ia menoleh padaku. “Kita gak boleh masuk ya, Bu?”

“Ga bolehlah, Bu. Kan ada Ibu gurunya. Tiga orang lagi.
Sudah biarin saja, mungkin Acha belum biasa saja. Ini kan baru pertama kali kelas anak kita dapat ekskul.”

Wajahnya makin terlihat kecewa mendengar kata-kataku. Ia pun duduk di kursi tunggu dekat kami berdiri. “Acha sih kalau bukan saya atau mbaknya yang bujukin mana mau ikut begitu rame-rame sama temennya. Disuruh main bareng aja dia segan. Apalagi disuruh bergerak-gerak kayak gitu, udah pasti males. Saya bingung, tuh anak diapain ya supaya bisa lincah kayak si Pia? Ini maleees banget. Kerjanya nempeel aja sama saya atau mbaknya. Di kelas juga begitu, bengooong aja.”

Suara hingar bingar dari ruang menari masih terdengar. Tapi keluhan Bunda Acha menarik perhatianku. Lagipula, sambil duduk pun aku masih bisa melihat Pia yang tampak gembira tertawa-tawa memainkan pom-pom berwarna hijau mengikuti irama musik dan gerakan yang diajarkan kak Ogie, guru tarinya.

“Emangnya kalau di rumah Acha gimana, Bu?”

“Ya sama seperti anak-anak lain. Normal. Tak ada yang salah di rumah. Memang saya, papanya, kakek dan neneknya semua bekerja. Tapi kami selalu meluangkan waktu saat pulang bersama Acha. Acha kan ada mbaknya, jadi ya sewajarnya ibu-ibu bekerja lainnya. Kami juga selalu punya waktu di akhir pekan kok buat Acha.”

Yep. Tak ada yang salah. Dulu pun, kakak Pia juga ditemani oleh seorang pengasuh. Yang akhirnya menimbulkan masalah saat itu. Kakaknya Pia mengalami keterlambatan bicara. Nada bicara Bunda Acha mengingatkanku akan masalah yang sama kualami bertahun-tahun lalu

“Acha itu juga sehat, Bu. Gak ada yang salah dengan dia. Saya sudah periksa ke dokter. Syaraf motorik halus dan kasarnya berkembang baik, dia juga pandai menirukan apa yang saya ajarkan. Di rumah juga, kreativitasnya cukup tinggi. Saking tingginya, timbangan kue baru saya dia duduki sampai rusak. Saya juga bukan tipe orangtua yang galak dan suka marah. Saya malah gak tegaan marahin anak. Bentak dia dikit aja saya suka nangis dan nyesel sendiri.” Self defense, pertahanan diri melalui pembelaan. Pola orangtua yang tak mau disalahkan. Wah, artinya aku harus berhati-hati saat nanti mengatakan sesuatu tentang putrinya.

Aku mendengarkan dengan seksama, rasa ingin tahuku mulai tergelitik. Sambil melemparkan senyum kecil pada beberapa teman ibu-ibu yang mulai berdatangan untuk menjemput, aku mulai memasang telinga baik-baik.

“Acha itu anak yang manis di rumah. Habis pulang, walaupun cuma berdua sama si mbak, dia biasa main sendirian. Memang sih kadang untuk ngerjain tugas dari sekolah, saya yang biasa nelepon. Tapi dia tidak pernah ngambek tuh. Selalu dikerjain. Habis itu paling nonton televisi dan nungguin saya pulang. Kalau lagi jadwal ngaji ya dia mau aja ngikutin. Itu juga saya gak pernah paksain kok. Saya udah pesen sama mbaknya, kalau dia tak mau, jangan dipaksain.”

“Kalau lagi nonton televisi, biasanya Acha suka nonton apa?” Sesuatu. Ada sesuatu yang mulai kutangkap.

“Kan Ibu tahulah kondisi televisi Indonesia sekarang. Ya, sinetronlah, ya infotainmentlah. Nah saya ga mau anak saya nonton begituan. Makanya kami langganan TV kabel. Nah, itu aja yang ditonton si Acha, seharian tuh dia betah deh di rumah. Kami bahkan menyediakan khusus buat dia. “

“Memangnya Bunda ngasih saluran khusus untuk dia untuk apa?” tanyaku lagi. Ah, naluri psikolog itu seakan tak bisa dihindari.



“Ya kalau dia sering dengar kartun berbahasa Inggris, maksud saya biar nanti gampang belajar bahasa Inggrisnya. Lagian kartun di tv kabel itu mendidik ya Bu. Ngajarin anak kita tentang warna, tentang angka. Pokoknya bagus kok. Ibu sendiri di rumah pake tv kabel juga kan, pasti tahulah apa isinya.”

Kepalaku manggut-manggut. Tertawa, itu benar. Di rumah juga pakai saluran tv kabel, juga dengan alasan yang sama seperti Bunda Acha. Semua ibu, seperti aku dan Bunda Acha pun berharap sama. Zaman di mana bahasa inggris jadi kewajiban, tentu saja memaksa kami untuk berpikir mengenalkan bahasa tersebut sedini mungkin. Hanya rasanya, kalau di rumah kami sungguh merupakan keajaiban kalau Pia atau kedua kakaknya mau duduk dengan manis menonton televisi lebih dari satu jam.

“Begitu dia bangun. Supaya dia tidak merengek dan tidak merepotkan saya di pagi hari, kami bangunin dia pake televisi. Dia memang tak pernah menangis kalau lagi dibangunkan pake televisi. Nah nanti dia pulang sekolah, baru deh diteruskan nontonnya lagi. Soalnya mbaknya juga masih harus beres-beresin rumah dan masak, jadi si Acha main sendiri aja. Tapi dia gak pernah nolak kok kalau udah waktunya tidur atau belajar atau ngerjain tugas.”

Bunda Acha terus bicara mengenai putrinya. Ada kebanggaan, namun terselip kebingungan di dalam ceritanya. Sayang, bel pulang telah berbunyi. Putriku, bersama teman-temannya mulai berlarian menuju kelas mereka masing-masing. Memang Acha, seperti yang dikatakan Bundanya, justru memilih berjalan paling belakang. Seperti terpaksa.

“Jangan lari-lari! Jangan lari-lari!” Suara pekikan para Ibu guru seakan tak terdengar. Yah, begitulah anak-anak. Berlari itu sama dengan berjalan untuk mereka. Aku hanya tersenyum dari kejauhan, sambil melambaikan tangan pada Pia yang tertawa gembira melihatku sudah siap membawanya pulang. Tetapi sebelum putriku keluar, aku menoleh pada Bunda Acha yang juga kembali berdiri di sisiku, mengawasi putrinya.

“Bun, tv kabel itu memang bagus. Tapi, boleh saya tanya?” ucapku pelan.

“Tentu saja boleh, Bu.” Bunda Acha mendekat.

“Hmm… Apa televisi itu bisa bicara sama Acha? Bisa tidak dia ngajak Acha berkomunikasi seperti saat kita berdua bicara begini? Bisa gak televisinya ngajak Acha bergerak? bisa ngajak main bola? Atau bisa ngajak Acha berebutan mainan seperti kalau dia lagi main dengan teman seumurannya?” Kuakhiri pertanyaan dengan senyum dikulum. Sementara wajah Bunda Acha berubah menjadi datar, tanpa ekspresi, mencerna pertanyaanku itu.

Aku mengelus bahu sahabatku itu dua kali, sebelum meninggalkannya tanpa menunggu pertanyaanku dijawab. Karena memang bukan jawaban yang kuinginkan, aku hanya ingin Bunda Acha memahami apa yang terjadi pada putrinya. Lagipula saat itu, Pia-ku yang manis dan lincah sudah kembali berlari keluar kelasnya dengan tas ransel bergambar Hello Kitty sambil berteriak, “Mamaaaa!! Pia mau main ayunannya 20 kali dulu balu pulang yaaa! Pia itung sendili ajaaa.”

Yaah, alamat deh setengah jam lagi baru pulang. Pia kan baru bisa berhitung sampai 12, kalau 20 artinya ia menghitung sesuka hati saja. Pia, Pia.

                                                                               *****